Moulay Idris, Kota Kelahiran Maroko

Moulay Idris, Meknes
Moulay Idris, Meknes

Moulay Idris. Hari semakin siang ketika aku tiba di Riad di kota Meknes. Waktu begitu cepat berlalu setelah pertemuanku dengan Sidi dan dua kawan Jermannya. Aku menyimpan ransel dan mengambil kamera, kemudian bergegas meninggalkan Riad. Tujuanku hari ini adalah Moulay Idris Zerhoun, sebuah perkampungan di kaki Gunung Zerhoun.

Aku menunggu taksi di sisi jalan Place el Hadim. Tak sabar mengunjungi Moulay Idris yang menjadi titik nol negara Maroko. Sebuah taksi berhenti di depanku. Seorang supir tua menyapaku tanpa senyum,

“To Moulay Idris is how much?”, kataku padanya.

Ia tak menyebut angka tetapi memberi isyarat untuk naik saja. Aku naik dan membanting pintu dengan keras, untuk memastikan pintu tertutup rapat. Mobil ini terlalu tua untuk dioperasikan menjadi taksi. Belum juga tenang aku duduk di dalamnya, Bapak supir ini mengajakku berdebat. Betapa susahnya berkomunikasi jika tak tahu bahasa lokal. Aku dan supir taksi ini berkali-kali berargumen, sementara laju taksi semakin melambat. Aku curiga akan ditipunya. Ia bisa saja tidak membawaku ke tempat tujuanku lalu memaksaku membayarnya.

“No, I’m not going to Ibis Hotel. I want to go to Moulay Idris!”, aku kesal, ia belum paham juga destinasiku.
“§#/&5%$/#… Taxi… &%§$%/&#&.. Ibis!”, sepertinya ia juga kesal.
“Yeah, with your taxi to Moulay Idris! How much is it?”, ia belum menyebutkan harga sedari tadi.

Ia tak menjawabku, malah menambah laju mobil. Kami berdua terdiam. Aku menurut saja, selama ia tidak membawaku ke tempat yang sepi, aku rasa aku aman. Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah gang kecil yang dipenuhi oleh mobil putih, mirip dengan taksi di Bandara Fez kemarin. Ia memaksaku turun dan meminta ongkos 5 Dirham. Ia tidak sedang menipuku. 5 Dirham adalah harga yang normal.

“Moulay Idris… Taxi…!”, kata Bapak Supir sembari menunjuk sekelompok orang di sekitar jalan itu.

Aku turun dengan keadaan bingung. Mungkin ia kesal denganku dan memintaku mencari taksi lain saja. Aku merasa ia mengusirku. Entahlah. Aku memberinya sejumlah Dirham yang ia minta dan berjalan mendekati sekelompok orang yang ditunjukinya tadi. Mobil-mobil putih itu terparkir kosong ditinggal pengemudinya. Tempat ini terlalu kecil untuk disebut sebagai terminal, karena hanya terletak di sebuah lorong kecil tak beraspal di belakang sebuah gedung tinggi. Lalu, seorang pemuda menghampiriku,

“Moulay Idris.. Volubillis, Madam?”, perawakannya seperti anak SMA yang sedang bolos sekolah.
“Moulay Idris!”, kataku.

Ia membawaku ke sebuah mobil putih. Di seat depan, duduk 2 orang perempuan Muslim. Jok belakang masih kosong. Ia memintaku membayar 10 Dirham sebelum menaiki mobilnya. Murah sekali transpor ke Moulay Idris ini. Padahal setahuku, membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan menuju kaki Gunung Zehroun itu. Ia pun memintaku duduk di jok belakang.

Sejenak aku mengerti taksi jenis ini tidak mengantar satu penumpang saja. Ia harus mengumpulkan penumpang lain yang memiliki tujuan yang sama. Artinya, aku harus menunggu sedikit lebih lama sampai semua seat terisi. Dua seat depan telah diduduki dua perempuan tadi. Tampaknya bukan turis.

Belum juga 10 menit, taksi kami pun bergerak meninggalkan area ‘terminal’ kecil ini. Di jok belakang, diduduki oleh empat orang termasuk aku sendiri. Aku terhimpit di pinggir jendela, dua lelaki Arab nan tinggi dan besar baru saja melengkapi kapasitas penumpang yang diinginkan oleh supir taxi. Mobil sedan dengan jumlah penumpang 3 orang duduk di depan dan 4 orang duduk di belakang.

Jalan yang mendaki dan berliku serta keadaan badan yang terjepit orang-orang Arab membuatku sedikit mual. Terasa makin parah karena perutku kosong sejak siang tadi. Aku mengalihkan perhatian dengan menghitung barisan pohon-pohon buah zaitun yang tersusun rapi sepanjang jalan. Satu dua bus melewati kami. Keadaannya tak jauh berbeda dengan taksi ini.

Penuh sesak orang-orang bergelantungan di dalamnya. Pahamlah aku maksud supir taksi di Place el Hadim tadi. Ibis yang ia maksud adalah bus besar, bukan hotel. Ia menanyakan apakah aku ingin ke Moulay Idris menaiki taksi atau bus. Dan aku bersikokoh ingin menaiki taksinya karena telah duduk manis di dalamnya.

Aturan, Petit Taxi hanya boleh beroperasi di dalam kota Meknes. Untuk ke pinggiran kota harus menggunakan taksi jenis lain. Moulay Idris terletak bukan di dalam kota Meknes. Dan bus menuju Moulay Idris lebih jauh dari Place El Hadim. Karena itulah ia membawaku ke ‘terminal’ kecil khusus Grand Taxi. “Udah salah, ngotot lagi… I’m sorry, yaa Uncle!”, umpatku dalam hati, padahal Bapak Supir taksi tadi sebenarnya berniat membantuku untuk tidak membayar ongkos taksi lebih mahal. Penyesalan kedua karena tak bisa berbahasa Arab.

Kami tiba di Moulay Idris, wangi daging panggang mulai tercium sekejap saja ketika aku meninggalkan area parkiran. Sahut-sahut pelayan restauran berebutan mengajak kami untuk mampir. Aku memilih satu restoran paling depan, karena mereka memanggilku “Indonesi…”. Penghargaan kecil untuk mereka karena berhasil menebak negara asalku. Sebelumnya, orang-orang Maroko selalu menyangka aku berasal dari Filipina, Malaysia, bahkan Jepang. Di restauran itu aku memesan Kefta, daging cincang yang dibulat-bulatkan kemudian dipanggang. Di restoran Turki, mereka menyebutnya Köfte.

Sembari menunggu pesanan, pelayan datang membawakan satu keranjang roti dan sepiring buah olive. Aku menyukai buah olive buatan Maroko ini, rasanya sedikit asin dan masih mengkal sehingga tidak terlalu pekat. Berbeda dengan sajian buah olive milik Turki yang terlalu matang, kadang juga lembek. Aku membayar menu makan siangku sedikit lebih mahal dibanding di Meknes lalu meninggalkan restoran itu.